Sabtu, 10 Maret 2012

ARTI LAMBANG KABUPATEN WAJO


ARTI LAMBANG KABUPATEN WAJO


I . POHON BAJO
a.      Bertangkai/cabang tiga ialah bentuk asal daerah kabupaten Wajo yang terdiri dari tiga (3) Limpo :
1.Majauleng ( Benteng Pola )
2. Sabbangparu ( Talotenreng )
3. Takkalalla ( Tua )
                   b.   Batang lurus adalah bercita-cita tinggi penuh kejujuran.
                     c.   Daun sebanyak 30 lembar dan berwarna hijau melambangkan Dewan Rakyat    
                           Wajo ( ketika terciptanya Republik Wajo pada Abad XIV ) dan cita – cita kemak –
                           muran negeri.
                     d.  Pada akar Pohon tertulis aksara bugis menyatakan asal perkataan Wajo.

II. PITA
Pada pita terbentang terdapat salah satu dari pandangan hidup masyarakat / rakyat Wajo “ MARADEKA TOWAJOE ADENA NAPOPUANG “ artinya rakyat Wajo merdeka konstitusinya yang dipertuan dengan warna hijau yang diartikan makmur/subur.

III. PADI, JAGUNG, IKAN, GULA
Kesemuanya melambangkan kemakmuran yang pokok di daerah Wajo

IV. LETTER W
Letter W yang berbentuk ornament ( hiasan ) melambangkan seni Ukir ( kesenian yang berkembang didaerah wajo )

V. WARNA KUNING DAN MERAH
- Merah berani karena benar
- Kuning indah dan mulia
- Kedua warna tersebut adalah warna simbolis bagi jiwa masyarakat Wajo.

VI. WARNA DASAR
Bidang lambing yang berwarna putih yang diapit merah mencerminkan kepribadian masyarakat/rakyat wajo ialah keberanianyang disandarkan pada kesucian.

VII. BENTUK LAMBANG
Bentuk perisai Tameng artinya kesiap siagaan menghadapi setiap kemungkinan yang mengancam masyarakat Wajo.

FILOSOFI MASYARAKAT WAJO

MASYARAKAT WAJO

Filossofi masyarakat Wajo yang mencerminkan kearifan lokal dan moral masyarakat Wajo yag ada sejak  Wajo lahir pada tanggal 29 Maret 1399, dengan tiga kata yang terpatri didalam jiwa masyarakatnya yang dikenal dengan 3 S, yaitu Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge, dan menjadi satu tatanan yang tidak terpisahkan.

SIPAKATAU ( saling memanusiakan )
Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan sebagai mahluk ciptaan Allah SWT. Semua mahluk disisi Allah adalah sama, yang membedakan adalah iman dan ketaqwaannya.

SIPAKALEBBI ( saling memuliakan / menghargai )
Saling menghormati antara yang mudaterhadap yang tua, dan sebaliknya.

SIPAKAINGE ( saling mengingatkan / demokrasi )
Yaitu menghargai nasehat dan kritikan positif dari siapapun, yang mengakui bahwa manusia adalah tempatnya kekurangan dan kehilafan.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam Lontara Wajo yang diungkapkan sebagai  daerah “  Mangkalungu Ri BuluE” Massulappe RipottananggngE” Mattoddang RitasiE/tapparengngE”.yang artinya daerah Wajo adalah daerah yang subur dan menjanjikan, dimana tersedianya sumber daya alam yang melimpah, yaitu lahan pertanian dan perkebunan yang cukup luas, Laut dan danau yang menyediakan ikan dan hasil laut.

Sumber Daya Manusia masyarakat Wajo cukup besar dengan sikap yang ramah tamah dan terbuka, tekun dan giat bekerja serta demokratis yang tercermin dari warisan dan pandangan hidup sejak dahulu kala dengan motto “ MARADEKA TOWAJOE ADENA NAPOPUANG “ yang artinya : Rakyat Wajo merdeka, hanya konstitusinya yang dipertuan.

Corak hiodup  atas dasar kekeluargaan dan sifat kegotong royongan yang terungkap dari Lontara Sukunna Wajo dengan semboyan “ MALI SIPARAPPE, REBBA SIPATOKKONG, MALELU SIPAKAINGE, MAINGEPPI NAPAJA “ .

Penduduk masyarakat Wajo mayoritas beragama Islam, dan yang lainnya menganut agama Protestan, Katolik, dan Hindu ( To Lautang) dan menggunakan bahasa Bugis dengan system penulisan aksara Lontara.

Senin, 20 September 2010

I TUING – TUING (cerita Mandar)

 

I Tui-Tuing adalah seorang pemuda miskin yang tinggal di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. I Tui-Tuing dalam bahasa Mandar terdiri dari dua kata, yaitu i yang berarti si (dia lelaki ataupun perempuan), dan tui-tuing yang berarti ikan terbang. Jadi, I Tui-Tuing berarti si laki-laki ikan terbang atau manusia ikan. Menurut cerita, I Tui-Tuing pernah melamar keenam putri seorang juragan. Dari keenam putri juragan tersebut, hanya putri ketiga bernama Siti Rukiah yang bersedia menerima lamarannya. Mengapa lima orang putri juragan lainnya tidak sudi menerima lamaran I Tui-Tuing? Lalu, mengapa pula Siti Rukiah bersedia menikah dengan I Tui-Tuing? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita I Tui-Tuing berikut ini.

* * *

Alkisah, di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat, ada sepasang suami-istri miskin yang senantiasa hidup rukun dan bahagia. Namun, kebahagiaan mereka belum terasa lengkap, karena belum memiliki anak. Untuk itu, hampir setiap malam mereka senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dikarunai seorang anak.

“Ya Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karuniakanlah kepada kami seorang anak laki-laki, walaupun bentuknya menyerupai tui-tuing!” doa sepasang suami-istri itu.

Sebulan kemudian, sang Istri ternyata hamil. Alangkah bahagianya sang Suami saat mengetahui hal itu. Tidak lama lagi mereka akan memiliki seorang anak yang akan menjadi penghibur di saat-saat mereka sedang kesepian. Sejak mendengar kabar gembira itu, sang Suami pun semakin rajin melakukan pekerjaan sehari-harinya, yakni motangnga[1] di sekitar Teluk Mandar untuk dijual. Hasil penjualannya ia gunakan untuk membeli segala keperluan bayinya. Setiap malam ia selalu berdoa kepada Tuhan agar kelak istrinya melahirkan dengan selamat. Demikian pula sang Istri, ia senantiasa menjaga dan merawat bayi di dalam kandungannya agar tetap dalam keadaan sehat.

Tidak terasa, usia kandungan sang Istri sudah menginjak tujuh bulan lebih. Seperti halnya masyarakat Mandar lainnya, mereka pun mengadakan acara tujuh bulanan yang disebut dengan niuri[2] secara sederhana. Mereka pun menyiapkan beberapa jenis kue yang bentuknya bulat, seperti onde-onde, gogos, dan semacamnya, dengan harapan kelak sang Istri melahirkan anak laki-laki. Berbeda halnya jika mereka mengharapkan anak perempuan, mereka harus menyiapkan kue-kue yang berbentuk gepeng, seperti pupu, lapisi, katiri mandi, dan semacamnya.

Setelah acara nipande mangidang (makan kue bersama), mereka kemudian melantunkan lagu-lagu Mandar yang berisi doa, seperti berikut:
Alai sipa`uwaimmu
Pidei sipa` apimmu
Tallammo`o liwang
Muammung pura beremu

Artinya :

Ambil sifat airmu (gampang mengalir)
Padamkan sifat apimu (panas)
Keluarlah engkau
Membawa takdirmu

Uwai penjarianmu
Uwai pessungammu
Uwai pellosormu
Uwai pellene`mu
Uwai peoromu
Uwai pellambamu
Uwai atuo-tuoammu.

Artinya :

Engkau tercipta dari air
Keluarlah merangkak, duduk dan berjalan seperti lancarnya air mengalir
Murahlah rezekimu dan dingin seperti air

Ketika memasuki awal bulan kesepuluh, sang Istri pun melahirkan seorang anak laki-laki sebagaimana yang mereka harapkan. Namun, alangkah terkejutnya mereka ketika melihat bayi mungil yang baru saja lahir menyerupai tui-tuing. Seluruh wajah dan tubuhnya diselimuti oleh sisik ikan terbang. Oleh karenanya, ia diberi nama I Tui-Tuing, yang berarti si Ikan Terbang.

Pada mulanya, kedua orangtua sang Bayi tidak percaya dan enggan menerima kenyataan itu. Dalam hati mereka berkata “tidak mungkin manusia dapat melahirkan seekor ikan”. Namun, setelah menyadari bahwa keberadaan bayi yang bersisik ikan itu adalah pemintaan mereka sendiri, akhirnya mereka pun menerima kenyataan tersebut. Mereka menjaga dan merawat I Tui-Tuing dengan penuh kasih sayang.

Waktu terus berjalan. Beberapa tahun kemudian, I Tui-Tuing pun tumbuh dewasa. Ia sering ikut bersama ayahnya motangnga di sekitar Teluk Mandar. Ia juga rajin membantu ibunya memasak di dapur sepulangnya dari motangnga. Tidak heran jika kedua orang tuanya semakin sayang kepadanya. Apa pun permintaannya, mereka selalu berusaha untuk memenuhinya.

Pada suatu hari, I Tui-Tuing memohon kepada kedua orangtuanya, agar mencarikannya seorang pendamping hidup. Baginya, tidak perlu cantik, asalkan gadis itu bersedia menikah dan hidup bersamanya. Permintaan I Tui-Tuing itu sangatlah berat bagi kedua orangtuanya. Mereka merasa tidak mungkin ada orang yang sudi menerima lamarannya, karena kondisi anaknya yang cacat. Tapi, karena saking sayangnya kepada I Tui-Tuing, mereka pun mencoba untuk melamar beberapa gadis yang ada di kampung itu. Setelah menaiki beberapa rumah (rumah panggung), bukannya penghargaan ataupun penyambutan yang mereka terima, melainkan penghinaan. Di antara para gadis tersebut ada yang menghinanya dengan mengatakan:

“Siapa yang sudi menikah dengan anak kalian yang menyerupai ikan tui-tuing itu!”

Dengan perasaan sedih, kedua orangtua itu pulang ke rumahnya. Mereka pun menyampaikan berita buruk itu kepada I Tui-Tuing.

“Apakah Ayah dan Ibu sudah melamar semua gadis di kampung ini?” tanya I Tui-Tuing ingin tahu.

“Belum, Anakku! Masih ada satu rumah yang belum kami datangi, yaitu rumah si Juragan Kaya di kampung ini,” jawab ayahnya.

“Kenapa Ayah? Bukankah dia mempunyai enam orang gadis?” tanya I Tui-Tuing.

“Benar Anakku! Tapi, tidak mungkin kami berani melamar ke sana. Mereka adalah orang kaya raya, sementara kita orang miskin,” sahut ibunya.

“Tidak, Ibu! Sebaiknya Ayah dan Ibu mencoba dulu melamar anak juragan itu. Nanda yakin, pasti salah satu dari mereka ada yang sudi menikah denganku,” desak I Tui-Tuing.

Oleh karena didesak terus, akhirnya kedua orangtua I Tui-Tuing bersedia untuk pergi melamar salah seorang anak juragan kaya itu.

Sementara itu, di rumah sang Juragan, keenam putri juragan tampak rukun dan bahagia, kecuali satu orang yang bernama Siti Rukiah. Siti Rukiah adalah anak ketiga dan dialah yang paling cantik di antara saudari-saudarinya. Rupanya, hal itulah yang membuat saudari-saudarinya iri hati kepadanya. Oleh karenanya, kelima saudarinya tersebut membiarkan Siti Rukiah tinggal sendirian di kamar paling belakang dekat dapur. Bahkan, mereka membedakinya dengan arang, agar wajahnya yang cantik itu tidak terlihat oleh para pemuda yang datang ke rumah mereka.

Pada suatu hari, kedua orantua I Tui-Tuing memberanikan diri datang ke rumah sang Juragan untuk melamar salah seorang putrinya. Sesampainya di rumah itu, mereka pun disambut baik oleh sang Juragan.

“Maaf jika kedatangan kami mengganggu ketenangan keluarga Juragan!” kata Ayah Tui-Tuing.

“Tidak apa-apa, Pak! Kalau boleh tahu, ada apakah gerangan maksud kedatangan kalian kemari?” tanya sang Juragan.

“Maaf Juragan, jika kami terlalu lancang terhadap keluarga Juragan. Kami bermaksud untuk menyampaikan pinangan anak kami I Tui-Tuing kepada salah seorang putri Juragan,” ungkap Ayah Tui-Tuing.

“Oh begitu...! Baiklah, aku akan menanyakan hal ini kepada putri-putriku, siapa di antara mereka yang bersedia menikah dengan I Tui-Tuing,” jawab sang Juragan seraya mengumpulkan semua putrinya, kecuali Siti Rukiah yang tetap dikurung dalam kamar.

Setelah sang Juragan menanyai satu-satu persatu kelima putrinya, tak seorang pun di antara mereka yang suka kepada I Tui-Tuing. Malah justru mereka menghina kedua orangtua Tui-Tuing.

“Hei, orangtua! Kalian harus berkaca dulu. Kalian itu siapa dan hendak melamar siapa? Kalian itu orang miskin, sedangkan kami orang kaya,” hardik putri sulung sang Juragan.

“Lagipula siapa yang sudi menikah dengan putra kalian yang buruk rupa itu!” tambah putri juragan yang paling bungsu dengan menghardik pula.

Mendengar jawaban para putri juragan itu, kedua telinga orangtua Tui-Tuing bagaikan disambar petir. Dengan perasaan sedih dan kecewa, mereka pun berpamitan kepada sang Juragan untuk pulang ke rumahnya menyampaikan berita buruk itu kepada anaknya. Namun, ketika mereka akan beranjak dari tempat duduk, tiba-tiba terdengar suara dari ruang paling belakang.

“Jika tidak seorang pun saudariku yang sudi menikah dengan I Tui-Tuing, biarlah aku yang mendampingi hidupnya,” kata suara perempuan yang lembut itu.

Semua yang hadir di rumah itu tiba-tiba tersentak kaget. Sang Juragan pun segera beranjak dan berjalan menuju ke kamar paling belakang. Tidak berapa lama, ia pun kembali sambil menuntun putrinya.

“Maafkan kami, Pak! Aku lupa, ternyata aku masih mempunyai seorang putri lagi, namanya Siti Rukiah. Tapi lihatlah, wajahnya sangat buruk, karena setiap hari pakai bedak arang. Apakah kalian bersedia menerimanya?” sang Juragan balik menawarkan putrinya kepada kedua orangtua I Tui-Tuing.

“Dengan senang hati, Tuan! Wajah cantik tidaklah terlalu penting bagi anak kami. Tapi, yang penting putri Juragan bersedia untuk hidup bersama dengan anak kami,” jawab ibu I Tui-Tuing.

Mendengar jawaban itu, Siti Rukiah pun menyatakan kesungguhan hatinya untuk hidup bersama dengan I Tui-Tuing sepanjang hidupnya. Pernyataan Siti Rukiah itu pun disambut baik oleh kedua orangtua Tui-Tuing. Demikian pula kelima saudarinya. Mereka sangat senang, karena Siti Rukiah akhirnya akan menikah dengan orang yang buruk rupa. Dengan demikian, tentu para pemuda tampan di kampung itu akan melirik mereka.

Seminggu kemudian, pernikahan I Tui-Tuing dengan Siti Rukiah dilangsungkan secara sederhana. Acara tersebut hanya dihadiri oleh keluarga dari kedua mempelai. Sejak resmi menjadi suami-istri, mereka pun meminta kepada kedua orangtua mereka untuk hidup mandiri. Akhirnya, mereka pun dibuatkan sebuah rumah panggung yang cukup sederhana di atas tanah milik orang tua Siti Rukiah yang berada di kampung sebelah. Sejak itu, I Tui-Tuing bersama istri tercintanya tinggal di rumah itu. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, setiap hari I Tui-Tuing pergi metongnga di sekitar Teluk Mandar.

Pada suatu pagi, usai sarapan, I Tui-Tuing berpamitan kepada istrinya hendak pergi metongnga. Setelah suaminya berangkat, Siti Rukiah memasak nasi dan membersihkan rumah. Setelah semua pekerjaannya selesai, ia pun membersihkan seluruh badannya, terutama wajahnya yang masih dipenuhi dengan bedak arang. Ketika hari menjelang siang, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumahnya. Siti Rukiah pun segera membuka pintu. Saat pintu terbuka, tampak seorang lelaki gagah dan tampan berdiri di hadapannya.

“Maaf Tuan, Anda siapa?” tanya Rukiah.

“Aku adalah I Tui-Tuing hendak mencari istriku yang bernama Siti Rukiah” jawab si lelaki gagah itu.

“Maaf, Tuan jangan mengaku-ngaku! Bukankah seluruh tubuh dan wajah I Tui-Tuing dipenuhi dengan sisik ikan?” tanya Rukiah dengan sanksi.

“Benar yang kamu katakan itu. Selama ini kulitku memang dipenuhi dengan sisik ikan, sehingga aku menyerupai ikan terbang. Itu semua terjadi karena permintaan kedua orangtuaku sebelum aku lahir. Tapi, kini aku sudah kembali normal seperti manusia lainnya, karena aku sudah beristri,” jelas lelaki tampan itu.

Pada mulanya, Siti Rukiah tidak percaya dengan penjelasan orang yang tidak dikenalnya itu. Tetapi, setelah mendengar suara dan mencium bau lelaki itu persis sama dengan suara dan bau Tui-Tuing, akhirnya ia pun percaya bahwa lekaki gagah dan tampan yang berdiri di hadapannya itu adalah suaminya. Setelah yakin dengan hal itu, kini giliran Siti Rukiah memperkenalkan dirinya kepada suaminya.

“Bang! Aku ini istrimu, Siti Rukiah,” ungkap Siti Rukiah kepada suaminya.

“Bukankah istriku itu wajahnya hitam pekat?” I Tui-Tuing balik bertanya dengan sanksi.

“Benar, Bang! Wajahku menjadi hitam pekat, karena perbuatan saudari-saudariku. Mereka iri terhadap kecantikanku. Makanya, mereka membedakiku dengan arang, agar para pemuda tampan tidak tertarik melihat kecantikanku. Ketika Abang berangkat ke laut, aku membersihkan semua sisa-sisa arang yang masih menempel di wajahku. Kini, wajahku kembali bersih seperti semula,” jelas Siti Rukiah.

Awalnya, I Tui-Tuing tidak percaya dengan pernyataan perempua cantik itu. Namun, setelah mendengar suara dan mencium bau perempuan itu tidak ada bedanya dengan suara maupun bau Siti Rukiah, akhirnya I Tui-Tuing pun yakin bahwa perempuan cantik itu adalah istrinya. Setelah keduanya saling mengenal, mereka pun langsung berpelukan.

Keesokan harinya, mereka pergi mengunjungi orangtua mereka dengan wajah yang baru. I Tui-Tuing tidak lagi menyerupai ikan terbang, tapi sudah berwujud manusia. Begitupula Siti Rukiah, ia tampak jauh lebih cantik dan memesona, karena bedak arang yang menempel di wajahnya benar-benar sudah hilang. Kini wajahnya tampak bersinar dan pipinya terlihat kemerah-merahan bagaikan buah delima.

Pertama-tama mereka mengunjungi rumah orangtua I Tui-Tuing. Alangkah terkejutnya kedua orangtua I Tui-Tuing ketika mengetahui bahwa lelaki gagah dan tampan itu adalah anaknya, dan gadis cantik itu adalah menantunya. Demikian pula ketika mereka sampai di rumah orangtua Siti Rukiah. Keluarga Siti Rukiah seakan-akan tidak percaya pada kenyataan itu, terutama kelima saudarinya. Mereka pun sangat menyesal, karena dulu menolak pinangan I Tui-Tuing. Namun, semuanya hanya tinggal penyesalan. Entah sampai kapan kelima gadis itu terus menunggu jodoh mereka datang. Sementara, Siti Rukiah hidup rukun dan bahagia bersama suami tercintanya, I Tui-Tuing.

* * *

Demikian cerita I Tui-Tuing dari daerah Mandar, Sulawesi Barat. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat iri dan dengki. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku kelima putri juragan terhadap kecantikan saudarinya yang bernama Siti Rukiah. Mereka memberinya bedak arang dan mengurungnya di kamar paling belakang, agar kecantikannya tidak dilihat oleh para pemuda tampan. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat iri dan dengki dapat menimbulkan kebencian yang mengarah kepada suatu tindakan kekerasan terhadap orang lain, bahkan terhadap saudara sendiri.

Pelajaran lain yang dapat dipetik adalah bahwa orang-orang yang teraniaya selalu dilindungi oleh Tuhan yang Mahakuasa. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dialami oleh Siti Rukiah. Walaupun kelima saudarinya selalu berusaha menghalang-halanginya agar tidak menikah dengan pemuda tampan, namun dengan kehendak Tuhan Yang Mahakuasa, Siti Rukiah menikah dengan pemuda gagah dan tampan, yakni I Tui-Tuing. Sebaliknya, orang yang suka iri hati dan dengki akan dibenci oleh Tuhan. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:
kalau suka dengki mendengki,
orang muak Tuhan pun benci

"Cerita Rakyat Sulawesi Barat"

RAHASIA ILMU SEKS ALA LONTARA BUGIS (ASSIKALAIBINENG)

Rahasia Ilmu Seks Ala Lontara Bugis “Assikalaibineng”

 

Mengukur Kejantanan dari Hembusan Nafas
 
Assikalaibineng secara harfiah berarti cara berhubungan suami istri. Akar kata serupa juga dipakai masyarakat petani sawah di awal masa tanam.

Karena padi dan sawah diibaratkan istri, maka suamilah diberi otoritas untuk menggarap dan menanam.

Karena ajaran lahir di masa kuatnya paternalistik dan belum ada gerakan persamaan gender, makanya ajaran Kitab Persetubuhan Bugis ini lebih banyak ditujukan kepada suami. Kitab ini paham betul emosi perempuan dan karena perasaan malunya mereka amat jarang menjadi inisiator.


Inilah yang sekaligus menjelaskan mengapa ilmu tarekat atau tasawuf seks ala Bugis-Makassar ini diajarkan terbatas ke calon mempelai pria, memilih momentum beberapa hari sebelum akad nikah.

Setelah pengetahuan mandi, berwudu, dan salat sunah lalu tafakur bersama yang disebut nikah batin, maka sampailah pada tahapan lelaku praktis, cumbu rayu, penetrasi, dan masa pascaberhubungan.

Karena konsep Assikalaibineg mengedepankan ideologi dan tata krama, disarankan agar sebelum aktivitas penetrasi dimulai dilakukan dalam satu sarung, atau kain tertutup, atau kelambu.

Masyarakat Bugis, seperti dikemukakan Christian Pelras dalam bukunya, Manusia Bugis (Oxford: Blackwell, 2006) memang memiliki sarung khusus yang bisa memuat sepasang suami istri.

Sarung jenis ini tentu sangat susah didapat di pasar-pasar sandang kebanyakan.
Namun toh, selimut bisa menjadi alternatif.

Buku ini menggunakan istilah makkarawa (meraba) dan manyyonyo (mencium) untuk tahap foreplay.

Ini dengan asumusi pihak pria sudah mengetahui 12 titik rangsangan, dan rangkaian mantra (paddoangeng).

Meraba lengan adalah titik pertama yang disarankan dikarawa, sebelum meraba atau mencium titi-titik lainnya. Pele lima (telapak tangan), sadang (dagu), edda’ (pangkal leher), dan cekkong (tengkuk) adalah sejumlah titik yang dalam buku ini direkomendasikan di-karawa dan dinyoyyo di tahap awal foreplay.

Setelah bagian badan tubuh, mulailah masuk di sekitar muka.

Titik “rawan” istri dibagian ini disebutkan; buwung (ubun-ubun), dacculing (daun telinga), lawa enning (perantara kening dia atas hidung), lalu inge (bagian depan hidung).

Di titik ini juga disebutkan, tahapan di bagian badan sebelum penetrasi langsung adalah pangolo (buah dada) dan posi (pusar).

Dalam foreplay berupa makkarawa dan manyonyyo ini, buku menyarankan tetap tenang dan mengatur irama naffaseng (nafas).

Karena kitab persetubuhan ini sangat dipengaruhi oleh ajaran fiqhi al’jima atau ajaran berhubungan seks suami istri dalam syariat Islam, maka proses menahan nafas itu direkomendasikan dengan melafalkan zikir dan menyatukan ingatan kepada Allah Taala.

Apakah melafalkan zikir itu bersuara? Tentulah tidak. Zikir dan mantra dalam bahasa Bugis itu dilafalkan dalam hati.

Dalam komentar penulis buku ini,menyebutkan, ejakuliasi dini oleh pria banyak terjadi karena pikiran suami terlalu fokus ke pelampiasan untuk mencapai klimaks.

Perlu diketahui, seperti ajaran agama Islam, kitab Assikalaibineng bukan seperti buku-buku lain yang mengajarkan gaya dan teknis bersenggama dan melampiaskan nafsu belaka.

Laiknya ibadah, inti dari ajaran Assikalibineng adalah mengelola nafsu birahi ke arah yang lebih positif dan bermanfaat secara spiritualitas.

Bukankah seperti kata Nabi Muhammad SAW usai memenangkan Perang Badar, kepada sahabatnya yang bersuka, diperi peringatan, bahwa Perang Badar belum ada apa-apanya.

Perang terbesar manusia Muslim adalah bagaimana menahan hawa nafsu.

Dan nafsu yang amat sulit ditahan oleh manusia secara pribadi adalah nafsu birahi setelah nafsu ammarah (emosi kejiwaan).

Di bagian lanjutan tulisan ini, nantinya akan mengulas beberapa lafalan teknik menahan nafas.
Namun, bagian lain halaman buku itu juga diberikan tips parktis untuk mengetahui apakah seorang suami siap berhubungan seks atau tidak, maka disarankan bagi pria untuk mengangkat tangan kirinya, lalu menghembuskan nafas dari hidung.

Jika nafas yang keluar dari lubang hidung kanan lebih kuat berhembus, maka pertanda kejantanan yang bangkit.

Namun jika hembusan dari lubang kiri lebih kuat, maka sebaiknya sang suami menunda lebih dulu (hal 141).

“.. dalam keyakinan kebatinan Bugis, nafas hidung yang lemah dan kuat berkaitan langsung dengan ilmu kelaki-lakian atau kejantanan seorang pria…”. (thamzil thahir)

http://ininnawa.com/
.......................................................................................................................

Pesan singkat salah seorang pembaca Tribun di atas, hanyalah satu dari seratusan pertanyaan dan eskpersi senada yang masuk ke redaksi, sejak tulisan ini muncul pekan lalu.

Muhlis Hadrawi, penulis buku ini, senantiasa mengingatkan di bagian awal, tengah, dan mengunci di akhir bab tulisannya, bahwa Assikalaibineng bukanlah ilmu pelampiasan hasrat biologis sebagai wujud paling alamiah sebagai makhluk saja.

Penulis menggunakan istilah tasawupe’ allaibinengengnge untuk menjelaskan kedudukan persetubuhan yang lebih dulu disahkan dengan akad nikah dan penegasan kedudukan manusia yang berbeda dengan binatang saat melakukan persetubuhan.

Ini juga sekaligus wujud penghormatan dan menjaga martabat keluarga dalam kerangka mendekatkan diri kepada Allah (hal 123).

Pada bagian awal bab tata laku hubungan suami-istri, Muhlis mengomentari satu dari tujuh manuskrip Assikalaibineng yang menjadi rujukan utamanya menulis buku ini.

Dikatakan ini sebagai pustaka penuntun tata cara hubungan seks untuk suami-istri sebagai ilmu yang dipraktikkan Sayyidina Ali dan Fatimah.

Muhlis memulainya dengan kisah perbincangan tertutup Ali dan istrinya, yang juga putri Nabi, di tahun ketiga pernikahan mereka.

Perkawinan keduanya menghadapi satu masalah sebab Ali belum mengetahui dengan benar bagaimana tata cara menggauli Fatimah.

“Kala itu,” tulis Muhlis, “Fatimah mengeluarkan ucapan yang menyindir Ali, “Apakah kamu mengira baik apabila tidak menyampaikan titipan Tuhan?”
Ali kontan merasa malu dan sangat bersalah. “Ali mulai sadar kalau ia belum memberikan apa yang menjadi keinginan Fatimah di kamar tidur. Maka Ali meminta Fatimah memberitahu keinginan Fatimah dan memintanya untuk mempelajarinya.”

“Fatimah pun merekomendasikan Muhammad Rasulullah, yang tak lain bapak Fatimah. Datanglah Ali ke Nabi Muhammad dan selanjutnya terjadilah transfer pengetahuan dari bapak mertua kepada anak menantu.”

Transfer ilmu atau proses makkanre guru seperti ini amat biasa dalam tradisi Bugis-Makassar, khususnya keluarga yang mengamalkan ajaran tarekat-tarekat.

Kisah di atas sekaligus menjelaskan bahwa lelaku dan zikir Assikalaibineng tak terlambat untuk dipelajari.

Memang idealnya, tata laku hubungan Assakalaibineng ini diajarkan di awal masa nikah, namun bagi mereka yang ingin mengamalkannya hanya perlu membulatkan tekad, untuk mengubah cara padangnya, bahwa hubungan suami-istri versi Islam yang terangkum dalam lontara ini, berbeda dengan literatur, hasil konsultasi, atau frequent ask and question (FAQ) soal seks yang selama ini sumber dominannya dari ilmu kedokteran Barat.

Pada sub bab Teknik Mengendalikan Emosi Seks atau Hawa Nafsu (hal 150), buku ini menyajikan laku zikir untuk mengiringi gerakan seksual dari pihak suami.

“lelaku zikir ini menjadi penyeimbang nuansa erotis dan terkesan tidak vulgar.”
Teknik mengatur napas adalah inti dari ketahanan pihak suami.

Untuk menjaga endurance napas suami agar istrinya bisa mencapai orgasme, misalnya, saat kalamung (zakar) bergerak masuk urapa’na (vagina) disarankan membaca lafal (dalam hati) Subhanallah sebanyak 33 kali disertai tarikan nafas.

“Narekko mupattamamai kalammu, iso’i nappasse’mu”.
Sebaliknya, jika menarik zakar, maka hembuskanlah napasmu (narekko mureddui kalamummu, muassemmpungenggi nappase’mu), dan menyebutkan budduhung.

Bahkan bisa dibayangkan karena babang urapa’na (pintu vagina) perempuan ada empat bagian, maka di bagian awal penetrasi, disarankan hanya memasukkan sampai bagian kepala kalamummu lalu menariknya sebanyak 33 dengan tarikan napas dan disertai zikir, hanya untuk menyentuh “timungeng bunga sibollo” (klitoris bagian kiri).

Mungkin bagi generasi sekarang, lafalan zikir dalam hati saat bersetubuh akan sangat lucu, namun pelafalan Subhanallah sebanyak 33 kali dan perlahan dan diikuti tarikan napas akan membuat daya tahan suami melebihi ekspektasi istri! (hal 80)

“Mmupanggoloni kalamummu, mubacasi iyae/ya qadiyal hajati mufattikh iftahkna/…..! Pada ppuncu’ni katauwwammu pada’e tosa mpuccunna bunga’e (sibolloe)/tapauttmani’ katawwammu angkanna se’kkena, narekko melloko kennai babangne ri atau, lokkongi ajae ataummu mupallemmpui aje; abeona makkunraimmu, majeppu mukennai ritu atau…., na mubacaisi yae wikka tellu ppulo tellu/subhanallah../”
Artinya, “….arahkan zakarmu, dan bacalah ini/Ya qadiyyal hajati mufattikh iftakhna/….kemudian cium dadanya,. lalu naikkan panggulnya, … ketika itu mekarlah kelaminnya layaknya mekarnya kelopak bunga, masukkan zakarmu hingga batas kepalanya, dan bacalah subhanallah 33 kali…. (hal 144).

Penggunaan kata timungeng bunga sibollo sekaligus menunjukkan bagaimana para orang Bugis-Makassar terdahulu mengemas ungkapan-ungkapan erotis dalam bentuk perumpamaan yang begitu halus dan memuliakan kutawwa makkunraie (alat kelamin perempuan), dan ungkapan kalamummu (untuk zakar). (thamzil thahir)


Terapi Kelingking Untuk Tetap Langsing
Lapawawoi Karaeng Sigeri, Raja Bone yang terkenal cerdas, termasuk seorang suami yang mempelajari dan mengamalkan ajaran assikalaibineng. Stidaknya fakta ini dikonfirmasikan dari lontara Mangkau Bone Ke-31 ini yang secara rapi terdokumentasikan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta.

Manuskrip asli ini pulalah yang menjadi satu dari 44 lontara rujukan utama Muhlis Hadrawi, penulis buku Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis, yang diterbitkan Penerbit Ininnawa, Makassar (2008).

Secara teknis buku ini terdiri dari 189 halaman. Sebanyak 64 halaman terdiri dari transliterasi asli “kitab assikalaibineng” lontara ke dalam abjad melayu berikut terjemahannya. Inilah matan asli dari kitab tassawupe allaibainengengeng yang merupakan peninggalan leluhur Bugis-Makassar yang teleh terpengaruh dengan ajaran Islam.

Karena buku ini merupakan disertasi untuk meraih gelar magister bidang filologi (ilmu tentang Bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa dalam bentuk manuskrip asli) di Universitas Indonesia, maka 51 halaman di bagian awal lebih banyak mendiskripsikan latar belakang, asal usul naskah, dan metodologi penelitian.

Sedangkan di bagian akhir, Tata Laku Hubungan Suami Istri, isinya lebih merupakan ringkasan, analisis, sekaligus komentar penulisnya, yang diperkaya dengan literatur penunjang. Namun, bagi pembaca awam yang tidak lagi mengerti Bahasa-bahasa Bugis terhadulu, justru bab akhir inilah yang membatu mendapatkan intisari dari manuskrip tua, yang hingga awal decade 2000, masih beredar di kalangan elite terbatas, masyarakat kita.

Kepemilikan naskah ini oleh Lapawawoi yang kini dimuseumkan di Perpustakaan Nasional, tulis Muhlis, mempertegas sirkulasi ajaran ini selain dimiliki kalangan ulama/cendekia pesantren, pengetahuan ini juga milik bangsawan dan raja-raja Bugis Makassar.

Selain pengetahuan bersetubuh ala bugis, Kitab Persetubuhan Bugis, juga mengajarkan sistem rotasi waktu yang baik untuk berhubungan, dan tata cara perawatan tubuh bagi pihak suami dan istri. Tata laku dan tahapan ini semua dilakukan dalam satu rangkaian dan satu tempat
Untuk melangsingkan tubuh dan memperhalus kulits istri misalnya, suami tak perlu repot-repot menyisihkan uang dan mengantar pasangannya ke pusat kecantikan tubuh. Seperti spa center, steam room Jacuzzi, atau membayar kapster salon.

Di kitab mengajarkan rutinitas kesederhanaan namun tetap dalam bingkai kerahasiaan, tidak diketahui oleh orang banyak.

Untuk menjaga kebugaran tubuh, assikalaibineng misalnya merekomendasikan di kamar tidur dan massage (pijitan) rutin pasca-bersetubuh. Sedangkam untuk perawatan kulit, juga tak perlu cream pelembab atau whitening motion,

Kitab ini mengajarkan manfaat penggunaan “air mani” sisa yang biasanya meleler di bagian luar babang urapa’ (vagina) istri dan kalamummu (zakar) pihak suami dan sejumlah mantra bugis-Arab, secara subtansial lebih merupakan niat, sekaligus ekspresi kasih-sayang suami kepada istri pasca-berhubungan,

Kitab ini menyindir perilaku suami yang langsung tidur lelap atau langsung meninggalkan kamar tidur, sementara istri belum mendapatkan kepuasan, biasanya akan membuat wanita terhina. Di kitab ini. Perlakuan itu diistilahkan dengan, teretta’na narekko le’ba mpusoni (adab setelah persetubuhan).

“(h.75) . Rekko mangujuni ilao manimmu takabbereno wekka eppa/urape’ni alemu, nupassamangi makkeda; alhamdulillahahi nurung Muhammad habibillah./ nareko purano mualai wae, muteggoi bikka tellu, nareko purano, mualani minyak pasaula, musaularenggi kutawwamu apa napoleammengi dodong mupogaukangeki paimeng/Apa’ nasenggao manginggi’/ Aja mu papinrai gaumu denre purai mupogau, iya na ritu riyaseng temanginggi (hal. 157).

Kira, kira artinya bebasnya, jika air manimu sudah keluar maka bertakbirlah empat kali. Kemudian turunkan tubuhmu dan ucamkan hamdalah dan pujian ke nabi Muhammad. Jika engkau sudah melakuklannya, maka lakukanlah perbuatan yang menyenangkan perasaanya. (h.76) sebagai tanda sayang. Jika usai minumlahair dengan tiga tegukan, dan ambilah minyak gosokdan urutlah kelaminmu agar tubuhmu pulih kembali dan agar jagan sampai kalu lelah. Janganlah kamu mengubah perbuatanmu seperti yang kamu lakukan sebelumnya, demikianlah maka kamu akan disebut lelaki yang tidak merasa bosan dengan istrinya,”

Sedangkan tahapn selanjutnya, usai berhubungan, ambilah air mani dari liang fajri yang sudah bercampur dengan cairan perempuan. Letakakkanlah di telapak tangan mu, air mani dicampur dengan air liur dari langit-langit (sumur qalqautsar) suami, sebelum mengusap air mani tersebut ke tubuh istri, terlebih dulu membaca doa dengan lafalan bugis, “waddu waddi, mani-manikang”. Mani riparewe, tajang mapparewe, tajang riparewekki…” (hal.158)

Aiar mani basuhan ini bisa dipijitkan ke titik-tikik 12 rangsangan agar tidak kembeli berkerut, atau memijit bagian panggul dengan tulang kering di ujung bawah jari kelingking, untuk membuat tubuh istri tidak melar tapi tetap ceking.. (thamzil thahir)

Mau Anak Putih, Bersetubuh Setelah Jam 5 Subuh
TEKNIK bertahan dalam persetubvuhan menjadi hal yang sangat penting dan mendapat tempat khusus dalam Assikalaibineng. Dan sekali lagi, pihak suami menjadi faktor kunci.

Kitab peretubuhan Bugis ini tahu betul bahwa pihak suami senantiasa lebih cepat menyelesaikan hubungan ketimbang perempuan. Menenangkan diri, sabar, konsentrasi, dan memulai dengan kalimat taksim amat disarankan sebelum foreplay.

Manuskrip Assikalaibineng amat mementingkan kualitas hubungan badan ketimbang frequensi atau multiorgasme. Assikalaibineng adalah ilmu menahan nafsu, melatih jiwa untuk tetap konsentrasi dan tak dikalahkan oleh hawa nafsu.

Namun pada intinya, Assikalaibineng bukanlah lelaku atau taswawwuf untuk berhubungan badan, lebih dari itu assikalaibnineng adalah tahapan awal untuk membuat anak yang cerdas, beriman, memiliki fisik yang sehat. Inti dari ajaran ini adalah bagaimana membuat generasi pelanjut yang sesuai tuntutan agama.

(h.151) Banyak teori seksualitas mengungkapkan bahwa potensi enjakulasi sebagai puncak kenikmatan seksual bagi laki-laki lebih tinggi ketimbang perempuan. Perbandingannya delapan kali untuk suami, dan satu kali bagi istri.

Bahkan, dapat saja seorang istri tidak pernah sekalipun merasakan orgasme seteles sekian kali, bahkan sekian lama hidup berumah tangga. “Assikalaibaineng, mengkalim bahwa ini terjadi karena pihak suami sama sekali tak tahu atau bahkan tak mau tahu dengan lelaku seks yang mengedepankan kualitas.”

Mengutip sebuah buku lelaku seks sesusi ajaran Islam, yang diterbitkan di Kuala Lumpur, dalam catatan kaki di halaman 164, Muhlis mengomentari “…Hampir 99 persen lemah syahwat (kelemahan nafsu jantan) adalah timbul dari sebab-sebab kerohanian. Emonde Boas, seorang dokter asal Amerika bahkan pernah melakukan penelitian, dari 1400 lelaki yang didata mengidap penyakit lemah syahwat, hanya tujuh yang lemah karena sebab-sebab jasmani, yang lainya karena sebab rohani atau psikologis,”

Dia melanjutkan, “kejiwaanlah yang menyebabkan faktir terbesar sekaligus penggerak seseorang melakukan hubungan seks, sedangkan tubuh dan alat reproduksi hanya merupakan alat pemuasan bagi melaksanakan kehidupan kejiwaan seseorang.

Sedangkan teknik mengelola nafas dengan zikir, cara penetrasi, dan menutup hubungan dengan pijitan ke sejumlah titik rangsangan perempuan, dan menemani istri tertidur dalam satu selimut atau sarung merupakan bentuk akhir menjaga kualitas hubungan.

Pengetahuan praktis seperti waktu yang baik dan kurang baik untuk berhubungan badan juga secara rinci diatur dalam kitab ini. “Tidak sepanjang satu malam menjadi masa yang tepat untuk bersetubuh.” (hal.166)

Terdapat keterkaitan waktu bersetubuh dengan kualitas anak yang terbuahi, seperti warna kulit anak. Untuk memperoleh anak yang berkulit putih, peretubuhan dilakukan setelah isya. Untuk anak yang berkulit hitam, persetubuhan dilakukan tengah malam (sebelum shalat tahajjud), anak yang warna klitnya kemwerah-memerahan dilakukan antara Isya dan tengah malam.
Sedangkan untuk anak berkulit putih bercahaya, bersetubuhan dilakukan dengan memperkirakan berakhirnya masa terbit fajar di pagi hari. Atau lebih tepatnya dilakukan usai solat subuh, antara pukul 05.15 hingga pukul 06.00 jika itu waktu di Indonesia. Ini sekaligus supaya mempermudah mandi junub.

Secara khusus kitab ini adalah menuntut pihak suami sebagai inisiator dan mengingatkan kepada istri, agar menyesuaikan waktu tidur dengan keinginan melakukan persetubuhan. Sebab ternyata, persoalan waktu amat berdampak secara psikologis maupun biologis, terutama pihak istri.

Teks assikalaibineng secara spesifik menyebutkan adanya kaitan waktu tidur istri dengan ajakan suami bersetubuh.

Assikalaibineng A hal.72-73 menyebutkan, “bila suami mengajak istri berhubungan saat menjelang tidur, maka ia merasakan dirinya diperlakukan [penuh kasih sayang (ricirinnai) dan dihargai (ripakalebbiri). Akan tetapi jika istri sedang tidur pulas, lantas suami membangunkannya untuk bersetubuh, maka istri akan merasa diperlakukan laiknya budak seks, yang disitilahkan dengan ripatinro jemma’.

Soal bangun membangunkan istri yang tidur pulas, assikalaibineng juga memberikan cara efektif. Kitab ini sepertinya tahu betul, bahwa jika usai orgasme sang istri biasanya langsung tertidur. Untuk menuntnjukkan kasih sayang, maka usai berhubungan lelaki bisa mengambil air, lalu mercikkan satu dua tetas ke muka istri. Setelah istri terbangun, lelaki memberikan pijitan awal di antara kening, mata, menciumim ubun-ubun, memijit bagian panggul lalu bercakap-cakap sejenak. Percakapan ini bagi istri akan selalu diingat dan membuatnya. (thamzil thahir)










Senin, 06 September 2010

MUNCULNYA KERAJAAN SOPPENG

Oleh : H.A. Ahmad Saransi

INTEGRASI SOPPENG RILAU KE SOPPENG RIAJA HINGGA MUNCULNYA KERAJAAN SOPPENG

Awal Keberadaan

Dengan kemunculan Tomanurung dari Sekkanyili" (Soppeng Riaja) dan Manurungnge dari Goarie (Kerajaan Soppeng Rilau, merupakan fase awal dari ketenangan dan ketentraman dari masyarakat Soppeng sejak dilanda kemarau yang panjang. Kehidupan kedua masyarakat tersebut senantiasa tentram dan damai sebagaimana layaknya dua orang bersaudara kembar. Hal ini tidak mangherankan, karena Kerajaan Soppeng Riaja Sebagai pusat aktifitas politik mampu membina secara harmonis hubungan politiknya dan kekeluargaan dengan Kerajaan Soppeng Rilau.

Fase kedamaian ini berlangsung hingga kurang lebih 260 tahun lamanya, yaitu mulai tahun 1300-an sebagai masa awal Pemerintahan Latemmalala sebagai Datu I di Sppeng Riaja dan We Temmabubbu sebagai Datu I di Sppeng Rilau hingga terjadinya konflik perselisihan antara Datu Lamataesso Puang Lipue Patolae sebagai Datu Soppeng Riaja dan La Makkarodda Latenribali sebagai Datu Soppeng Rilau.

Konflik

Menurut catatan dalam naskah lontara dikatakan bahwa, terjadinya konflik ini disebabkan keambisian La Makkarodda untuk menguasai wilayah Soppeng Riaja. Pertikaian ini meningkat menjadi perang saudara. Namun keambisian Lamakkarodda ini tidak seluruh Kerajaannnya mendukung tindakan yang dilakukan La Makkarodda sehingga saat pecahnya perang saudara ini menyebabkan Kerajaan Soppeng Rilau mengalami kekalahan.
Lamakkarodda Sebagai Datu Soppeng Rilau tidak puas atas kekalahannaya itu. Untuk membalas kekalahannya, dengan kekerasan hati ia terpaksa meninggalkan negerinya untuk mencari sekutu atau bala bantuan dari Kerajaan tetangga.

Namun sebelum meninggalkan negerinya, telah datang perutusan dari Soppeng Riaja untuk meminta La Makkarodda untuk sudilah kiranya kembali kenegerinya untuk tetap memegang tampuk Ke-Daatu-an di Kerajaan Soppeng Rilau. Hal ini ditempuh LA Mataesso untuk senantiasa menjaga persatuan dan kekeluargaan antara Kerajaan Soppeng Riaja dengan Kerajaan Soppeng Rilau.

Maksud baik La Mataesso ditolak mentah-mentah oleh La Makkarodda, "Bessing Passuka' Bessing topa Parewekka" (saya keluar kerena tombak ( perang) maka sayapun akan kembali dengan tombak (perang) pula). Itulah jawaban La Makkarodda terhadap putusan itu hingga ia melanjutkan perjalanannya ke Kerajaan Bone untuk mencari persekutuan dan sekaligus meminta bantuan guna melawan kerajaan Soppeng Riaja. Akan tetapi setelah L Makkarodda mendekati kerajaan Bone, nampaknya niatnya itu tidak diterima dedngan pertimbangan dari pihak Kerajaan Bone :  "Bila kami mendukung berarti memperpanjang konflik  antara Kerajaan Soppeng Riaja dengan Kerajaan  Soppeng Rilau, disam[ping itu bila kami memberikan bantuan  maka  kelak  Kerajaan Bone akan menjadi musuh Kerajaan Soppeng Riaja.".
Karena rencananya tidak diterima, maka La Makkarodda memutuskan untuk tinggal di wilayah kerajaan Bone, hingga suatu ketika La Makkazrodda memperistrikan We Tenripakkua saudari kandung raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge.

Perkawinan La Makkarodda dengan We Tenripakkua berimplikasi terbukanya suatu kesempatan dalam rangka ikatan persahabatan antara kerajaan Bone dengan kerajaan Soppeng. Hal ini terrcermin dari ungkapan penasehat Kerajaan Bone Kajao Lalidong, " Saya merasa senang atas kebijaksanaannmu (taneng-tanengmu)  itu menjodohkan adik kandungmu dengan Datu Mario (La Makkarodda). Apabila nantinya ada anak keturunannya kembali ke negeri Soppeng, maka sedapat mungkin diadakan ikatan persaudaraan antara tanah Soppeng dengan Tanah Bone".

Betapa besar penghargaan Kajao Lallidong selaku penasehat dan diplomat kerajaan Bone ini untuk mempersaudarakan negeri dan rakyat kerajaan Bone dengan Negeri dan rakyat kerajaan Soppeng jika kelak dikemudian hari.

Federasi Soppeng Rilau bergabung dengan Soppeng Riaja

Sementara berlangsungnya perselisihan antara Datu Soppeng Riaja La Mataesso dengan Datu Soppeng Rilau La Makkarodda, Arung Umpungeng datan menghadap Datu Soppeng Riaja. Namun sebelum pertemuannya dengan La Mataesso terlebih dahulu diterima oleh La Waniaga Arung Bila. Dalam pertemuan awal dengan Arung Bila itu, Arung Umpungeng menyatakan diri atas nama rakyat Umpungeng beralih ke Soppeng Riaja dan bernaung dibawah payung pemerintahan Soppeng Riaja.

Disampaikan pula maksud kedatangannya, agar diberi perlindungan oleh Soppeng Riaja, karena mereka tidak sudi bersekutu dengan orang yang berbuat kesalahan (maksudnya La Makkarodda) dan beliaupun bersumpah tidak akan menghianati La Mataesso. Maksud kedatangan Arung Umpungeng tersebut kemudian diasampaikan oleh Arung Bila kepada Datu Soppeng Riaja La Mataesso dan beliau pun bersedia menerimanya pada pertemuan tingkat resmi selanjutnya.

Pada pertemuan tingkat resmi antara Arung Umpungeng dengan Lamataesso, Beliau berjanji dan memohon kepada La Mataesso kiranya beliau diperkenankan bernaung dibawah payung kerajaan Soppeng Riaja dan tidak diperlakukan dengan sewenang-wenang. Maksud baik itu diterima dengan ketulusan hati oleh Datu Soppeng Riaja La Mataesso, maka diadakanlahjamuan bersama dengan meminum tuak,hal mana kemudian dijadikan dasar pihak Arung Umpungengeng untuk mengucapkan sumpah setianya kepada Lamataesso, "Adapun tuak sudah kuminum, hendaknya janganlah keluar melalui mulut dan tidak pula dengan lubang dubur atau penis, akan tetapi biarkanlah keluar ke samping (usus yang sobek) jika sekiranya aku ingkar janji"' itulah sumpah setia Arung Umpungeng dihadapan La Mataesso sebagaimana tercantum dalam naskah lontara, dan seketika itu daerah Umpungeng sah berada dibawah payung kekuasaan Soppeng Riaja.

Beralihnya Umpungeng kedalam wilayah Soppeng Riaja dengan melalui perjanjian politik sepeti tersebut diatas, dengan sendirinya secara langsung membawa pengaruh yang sangat berarti dalam proses perkembangan politik dalam Kerajaan Soppeng Rilau, sementara kerajaan Soppeng Riaja semakin kuat. Dengan demikian akhirnya kerajaan Soppeng Rilau mengalami kekalahan.

Integrasi

Berkali-kali Datu Soppeng Riaja La Mataesso menempuh upaya perdamaian dengan Datu Soppeng Rilau La Makkarodda. Upaya pertama sebagaimana telah dikemukakan diatas, namun up[aya itu selalu ditolaknya dengan kekerasan hati. Penolakan ini dilandasi oleh keyakinannya bahwa ia mampu mengalahkan Soppeng Riaja setelah mendapatkan bantuan dari kerajaan Bone, mengingat kerajaan Bone waktu itu disamping kerajaan tetangga juga merupakan kerajaan yang sangat berpengaruh dan cukup kuat dari segi pertahanan. Namun bantuan yang diimpikan itu tidak mendapat sambutan dari raja dan para bangsawan kerajaan Bone. Dengan perasaan sangat kecewa Datu La Makkarodda memutuskan untuk tinggal di Kerajaan Bone atas Izin Raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge.

Kemudian tawaran kedua diajukan kepadanya untuk kembali memimpin kerajaan Soppeng Rilau setelah La Makkarodda berhasil mempersunting adik kandung Raja Bone La Tenrirawe. Niat baik ini ditolaknya dengan alasan demi menjaga terjadinya pertikaian dan perselisihan yang mungkin terulang lagi apabila beliau tetap memegang tampuk pemerintahan dikerajaan Soppeng Rilau.

Perundingan perdamaian pertama dan kedua itu selalu ditawarkan atas inisiatif  datu Soppeng Riaja La Mataesso. Kenapa  justru La Mataesso selalu menawarkan  perdamaian kepada Datu Soppeng Rilau  ?  Disinilah tercermin  bagaimana  sikap dan kecintaan  datu  Soppeng Riaja  yang  tetap  menjaga  persatuan  dan kedamaian  antara dua kerajaan . Disampiung itu ia berusaha menghindari terjadinya peperangan yang meluas dan berkepanjangan itu dengan melibatkan pihak luar yaitu kerajaan Bone.

Namun dalam perkembangan selanjutnya ketika perundingan ketiga terjadi sangat berbeda sebelumnya, karena ternyata atas inisiatif  Datu Soppeng Rilau Lamakkarodda sendiri yang ingin melakukan perdamaian dengan Soppeng Riaja.Kesungguhan hati La Makkarodda untuk berdamai dapat disimak dari makna sumpah dan janjinya ketika bertemu dengan Topaccaleppa Tautongengnge (penasehat kerajaan) dan juga ketika beliau bertemu dengan Datu Lamataesso.Dalam pertemuan itu beliau bersumpah dan berjanji tidak akan memngulangi perbuatannya yang sudah berlalu, yakni berniat tidak baik terhadap kerajaan Soppeng Riaja, bahkan beliau juga mengajukan permohonan untuk kembali bermukim diwilayah kerajaan Soppeng tampa memegang kedudsukan dan jabatan apapun. Mengenai soal tahta Kerajaan di Soppeng, baik Soppeng Riaja maupun Soppeng Rilau beliau juga berpesan kepada seluruh anak keturunannya kelak agar tidak manginginkannya lagi. Akan tetapipada waktu itu tiba-tiba Datu Soppeng Riaja Lamataesso memengang tangan La Makkarodda, sambil berkata"Saya kecualikan apabila terjalin ikatan perkawinan diantara anak cucu kita kelak dikemudian hari".

Selanjutnya,pada waktu yang telah ditentukan,bersidanglah dewan adat yang dihadiri oleh rakyat Soppeng rilau dan Soppeng riaja.Dari pertemuan tersebut mereka melakukan upacara Mallamung Patue sebagai simbol ikatan perjanjian persahabatan antara La Makkarodda dan La Mataesso yang kemudian ditanam secara bersama-sama yang disaksikan kepada Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa) dan keduanya berjanji"Barang siapa diantara kita yang ingkar janji, maka akan ditindih oleh batu itu serta tidak akan mendapatkan kebaikan sampai kepada anak keturunannya kelak"

Dengan selesainya perjanjian perdamaian tahap ketiga antara La Makkarodda dengan La Mataesso maka Soppeng memasuki era baru, yakni ditandai dengan berakhirnya kerajaan kembar Soppeng dan selanjutnya menjadi satu Kesatuan tunggal (mabbulo peppa) dibawah satu perjanjian kebesaran dan satu orang Raja Berdaulat sebagai pemegang tampuyk pemerintahan yaitu, Kerajaan Soppeng."

Sebagai hasil keputusan Dewan Adat maka diangkatlah La Mataesso Puang Lipue Patolae sebagai Datu Sop[peng Bersatu (1960) dan La Makkarodda Latenribali diangkat menjadi Pangepa' (Perdana Menteri) Kerajaan Soppeng. Setelah Kerajaan Soppeng Rilau berintegrasi dengan kerajaan Soppeng Riaja, maka kerajaan dipusatkan di Laleng Benteng.

Integrasi kerajaan Soppeng Rilau kedalam Soppeng Riaja merupakan suatu proses penyatuan komponen-komponen sosial kultural yang berbeda-beda kedalam satu hubungan dan jalinan yang terintegrasi serta menjadi kebulatan yang utuh untuk mencapai suatu identitas yang baru sebagai kerajaan yang bersatu.

Refleksi

Dari perang saudara yang pernah terjadi itu telah mengajarkan kita tiga hal :
  1. Antara La Makkarodda dan La Mataesso adalah pemimpin yang visioner, mampu melihat kedepan bagaimana membuat perencanaan strategis jangka panjang agar kedua rumpun rakyatnya kian maju,bukan terperosok mundur kelembah perang saudara. Keduanya telah berfikir jauh menembus batas kepentingangenerasinya. Capaian visinya tergambar dari kerelaan meleburkan kedua identitas kerajaannya menjadi kerajaan Soppeng.
  2. Mampu menggerakkan orang-orang terdekatnya sehingga muncul teamwork yang solid dan antusias untuk melaksakan visinya.
  3. Keduanya memiliki insiatif yang bisa dijelaskan kepada orang lain sehingga memperoleh dukungan luas dari rakyatnya