MASYARAKAT WAJO
Filossofi masyarakat Wajo yang mencerminkan kearifan lokal
dan moral masyarakat Wajo yag ada sejak
Wajo lahir pada tanggal 29 Maret 1399, dengan tiga kata yang terpatri
didalam jiwa masyarakatnya yang dikenal dengan 3 S, yaitu Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge, dan menjadi satu tatanan yang
tidak terpisahkan.
SIPAKATAU ( saling memanusiakan )
Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan sebagai mahluk
ciptaan Allah SWT. Semua mahluk disisi Allah adalah sama, yang membedakan
adalah iman dan ketaqwaannya.
SIPAKALEBBI ( saling memuliakan / menghargai )
Saling menghormati antara yang mudaterhadap yang tua, dan sebaliknya.
SIPAKAINGE ( saling mengingatkan / demokrasi )
Yaitu menghargai nasehat dan kritikan positif dari siapapun,
yang mengakui bahwa manusia adalah tempatnya kekurangan dan kehilafan.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Lontara Wajo yang
diungkapkan sebagai daerah “ Mangkalungu Ri BuluE” Massulappe
RipottananggngE” Mattoddang RitasiE/tapparengngE”.yang artinya daerah
Wajo adalah daerah yang subur dan menjanjikan, dimana tersedianya sumber daya
alam yang melimpah, yaitu lahan pertanian dan perkebunan yang cukup luas, Laut
dan danau yang menyediakan ikan dan hasil laut.
Sumber Daya Manusia masyarakat Wajo cukup besar dengan sikap
yang ramah tamah dan terbuka, tekun dan giat bekerja serta demokratis yang
tercermin dari warisan dan pandangan hidup sejak dahulu kala dengan motto “ MARADEKA TOWAJOE ADENA NAPOPUANG “
yang artinya : Rakyat Wajo merdeka, hanya konstitusinya yang dipertuan.
Corak hiodup atas
dasar kekeluargaan dan sifat kegotong royongan yang terungkap dari Lontara
Sukunna Wajo dengan semboyan “ MALI SIPARAPPE, REBBA SIPATOKKONG, MALELU
SIPAKAINGE, MAINGEPPI NAPAJA “ .
Penduduk masyarakat Wajo mayoritas beragama Islam, dan yang
lainnya menganut agama Protestan, Katolik, dan Hindu ( To Lautang) dan
menggunakan bahasa Bugis dengan system penulisan aksara Lontara.