Sabtu, 10 Maret 2012

FILOSOFI MASYARAKAT WAJO

MASYARAKAT WAJO

Filossofi masyarakat Wajo yang mencerminkan kearifan lokal dan moral masyarakat Wajo yag ada sejak  Wajo lahir pada tanggal 29 Maret 1399, dengan tiga kata yang terpatri didalam jiwa masyarakatnya yang dikenal dengan 3 S, yaitu Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge, dan menjadi satu tatanan yang tidak terpisahkan.

SIPAKATAU ( saling memanusiakan )
Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan sebagai mahluk ciptaan Allah SWT. Semua mahluk disisi Allah adalah sama, yang membedakan adalah iman dan ketaqwaannya.

SIPAKALEBBI ( saling memuliakan / menghargai )
Saling menghormati antara yang mudaterhadap yang tua, dan sebaliknya.

SIPAKAINGE ( saling mengingatkan / demokrasi )
Yaitu menghargai nasehat dan kritikan positif dari siapapun, yang mengakui bahwa manusia adalah tempatnya kekurangan dan kehilafan.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam Lontara Wajo yang diungkapkan sebagai  daerah “  Mangkalungu Ri BuluE” Massulappe RipottananggngE” Mattoddang RitasiE/tapparengngE”.yang artinya daerah Wajo adalah daerah yang subur dan menjanjikan, dimana tersedianya sumber daya alam yang melimpah, yaitu lahan pertanian dan perkebunan yang cukup luas, Laut dan danau yang menyediakan ikan dan hasil laut.

Sumber Daya Manusia masyarakat Wajo cukup besar dengan sikap yang ramah tamah dan terbuka, tekun dan giat bekerja serta demokratis yang tercermin dari warisan dan pandangan hidup sejak dahulu kala dengan motto “ MARADEKA TOWAJOE ADENA NAPOPUANG “ yang artinya : Rakyat Wajo merdeka, hanya konstitusinya yang dipertuan.

Corak hiodup  atas dasar kekeluargaan dan sifat kegotong royongan yang terungkap dari Lontara Sukunna Wajo dengan semboyan “ MALI SIPARAPPE, REBBA SIPATOKKONG, MALELU SIPAKAINGE, MAINGEPPI NAPAJA “ .

Penduduk masyarakat Wajo mayoritas beragama Islam, dan yang lainnya menganut agama Protestan, Katolik, dan Hindu ( To Lautang) dan menggunakan bahasa Bugis dengan system penulisan aksara Lontara.