Selasa, 17 Agustus 2010

LA MADDUKKELLENG KSATRIA WAJO

Cerita budaya :

La Maddukkelleng Ksatria Wajo

         La Maddukkelleng adalah seorang ksatria dari Wajo, Sulawesi Selatan. Pada masa kecilnya hidup di  linglkungan istana ( Arung Matowa Wajo ).
menginjak masa remaja iya diajak oleh pamannya mengikuti acara sabung ayam di Kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidak adilan pada penyelenggaraan acara tersebut, dimana orang Wajo merasa dipihak yang teraniaya. La Maddukkelleng tidak menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian. Ia lalu kembali ke Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade' Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu.

      Dengan berbekal tiga Ujung ( ujung mulut, ujung tombak, dan ujung kemaluan ). Ia berhasil di Negeri Kalimantan sampai Malaysia, dan merajai Selat Makassar, Hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut. Dia menikah dengan putri raja Pasir, dan salah seorang putrinya kawin dengan raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus melawan Belanda. Setelah 10 Tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang benama La Dalle Arung Taa  menghadap Sultan Pasir  dengan membawa surat yang isinya  mengajak kembali,  karena Wajo dalam Ancaman Bone.  La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tana Wajo  dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge  (Dewan Adat) , beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang, dan terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari diktean Kerajaan Bone, juga berhasil memperluas kekuasaan Kerajaan Wajo.
----------------------000---------------------
 
      La Maddukkelleng adalah putra dari Arung (Raja) Peneki La Mataesso To Ma'dettia We Tenriangka Arung (Raja) Sengkang, saudara arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena Itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki. Pada Tahun 1713, Rajaq Bone Lapatau matanna tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan Pelubangan Telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah Kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (putra saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih Raja. Sebagaimana lasimnya dilakukan disetiap pesta Raja-raja Bugis-Makassar. Diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddengngeng) dan sabung ayam (Mappabbitte). Pada saat pesta sabung ayam tersebut, ayam putra Raja Bone mati dikalahkan Ayam Arung matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang Bone dan mereka berpendapat bahwa petarungan itu sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian dan mengakibatkan korban dipihak Bone lebih banyak dibanding pihak Wajo. Lontara Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu kejadian tersebut terjadi tikam menikan antara orang Wajo dengan Orang Bone di Cenrana, Saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka berada diwilayah Kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri Melalui Sungai Walannae.

      Setibanya Arung Matowa wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan Raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa Lamaddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng, dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai. La Maddukkelleng dan dan meminta restu Arung Matowa wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (Arung Bentempola) utuk berlayar meninggalkan daerah wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung  tempat penyimpanan harta kekayaan  disebelah timur Masjid Tosora  serta  gedung padi di Tellu Limpo. Anggota Dewan Pemerintah Kerajaan Wajo La Tenri Wija Daeng Situju berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama diperantauan. Lalu ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menmjawab bahwa ada 3 bekal yang akan dibawa serta yaitu : pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku, dan yang ketiga ujung kelakilakianku. Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia sekarang) Lontara Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh dinegeri orang. Lamaddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tua Wajo, sekitar tahun1714.

(Cerita ini diangkat dari www.rappang.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar